setelah launching



Minggu, 20 Juni 2010 di 08.52 , 0 Comments

KAMPUS DAMAI


Ramadhan in Campus

“kamu tidak pulang?”
tanyamu di penghujung pertemuan
ketika bel akhir tahun mengisaratkan perpisahan
kau dan aku lalu terdiam,
sambil melihat teman-teman mengucapkan salam

tak terasa, ada sungai mengalir di mataku
seperti hendak mengantar ribuan perahu
berlabuh di halaman rumahmu

(setelah bertahun-tahun, waktu membuat jarak antara kita
tiba-tiba terbayang akan wajahmu dalam tidurku
dan sederet bait-bait himne yang pernah kita lantunkan bersama, terngiang begitu jelas di telingaku)

lalu berlembar-lembar surat gagal kukirim
karena alamatmu telah lenyap ditelan sepi
dan kucoba menelponmu
tapi panggilan selalu gagal
lantaran nomor teleponmu telah kau ganti

sampai akhirnya, aku hanya mampu
menuliskan nama kecilmu dalam buku harianku
sambil menggambar sketsa wajahmu
yang mengabur dalam ingatanku

dan saat ini aku kembali mengeja
jejak kakimu yang tertinggal di persimpangan
sejenak aku berhenti di belakang asrama
memandang laut begitu luas terbentang
lambaian daun tembakau tak terbilang
tak ada sahutanmu di sana
mengajakku menulis puisi seperti dulu
mungkinkah kita tak kan bertemu lagi
kecuali hanya dalam mimpi?

terkadang kita membutuhkan pertengkaran-pertengkaran kecil
sekedar ‘tuk membuktikan bahwa kita saling mencintai
semua itu kita ciptakan demi mengisi lembar kenangan
yang telah lama kita tinggalkan

“kamu tidak pulang?”
bunyi kalimat yang kutulis di pintu kamarku
biarkanlah kalimat itu abadi di sana
sebagai bukti bahwa aku selalu merindukanmu

tak terasa, ada sungai mengalir di mataku
seperti hendak mengantar ribuan perahu
berlabuh di halaman asramaku

2005-2006

Sabtu, 22 Mei 2010 di 21.09 , 1 Comment

SEBERKAS CAHAYA


IA YANG PATUH MELUKIS SEJARAH

Ali Ibnu Anwar

Kabar gembira sudah saya terima. Kabar itu datang dari seorang anak muda gigih yang tetap patuh menulis di atas sejarah tanah leluhurnya.

Bahwa puisi adalah bukan sekedar imaji yang melayang-melayang dan dituliskan begitu saja, terlihat jelas dalam puisi-puisinya. Keindahan gunung, sungai, laut yang ia tulis, bukanlah gunung yang perkasa dalam alam khayal, bukan pula sungai yang melintas dari indera yang tak nampak, bukan laut yang hanya mengantar para nelayan ke altar samudera dan mengantarnya pulang kembali. Lebih jauh, ia melukiskan semua, dari dongeng-dongeng kecil. Dongeng yang melibatkannya melebur dengan semesta. Pada sebuah sajak, ia melukiskan Rinjani, sebagai berikut:

Sepotong senja di puncak Rinjani
adalah senyum yang gemetar di ujung waktu
dan telah sampai kepadaku
pesan nenek monyang
yang lama bergemuruh di dada rakyatmu

(Sepotong Senja di Puncak Rinjani)

Ia menulis sebuah kegelisahan akan kehilangan pulau yang elok dalam pengembaraannya. Bagaimana ia duduk dan … menyaksikan jejak-jejak ikan yang pernah menangisi hidup /dan Gendang Beleq yang ditabuh di Segare Anak kian mengalun menusuk-nusuk rongga dada.

Pembaca akan menemukan sesuatu yang baru, yang belum pernah dipikirkan sebelumnya. Bahkan belum terlintas. Karena multi imaji yang lahir dari puisi-puisinya adalah realitas turun-temurun, yang menyekat kehidupan sebelumnya dengan kehidupan yang ia tempuh saat ini.

Dalam rentang waktu yang sangat singkat, yaitu tahun 2004 hingga 2009, ia telah berhasil menghimpun sejarah yang hilang. Sejarah yang tertimbun ruas-ruas modernitas. Namun puisi-puisinya “berteriak lantang” menggali timbunan itu. Hingga sejarah pecah, menyembul keluar, melepaskan diri, lalu menyatu dengan iramanya.

Walau ada sedikit perbedaan cara penulisan pada tahun-tahun awal puisi itu ditulis oleh penyairnya, namun tidaklah serta merta sejarah ditulis ikut berubah. Ia adalah seorang pengembara yang “membawa sedikit bekal” dari satu tempat ke lain tempat. Dan setiap ia singgah, ia kembali “mencari bekal” yang lagi-lagi hanya cukup untuk mengantarnya ke tempat lain selanjutnya. Begitu seterusnya. Seperti tercermin dalam puisi berjudul Bumi Gora.

Seorang Banjar Getas lahir kembali. Ia tak henti-henti berteriak “Di mana kemerdekaan itu?”, dengan sebuah busur di tangannya, dia siap memanah sejarah dengan anak panah yang terangkai dari puisi yang ia tulis. Begitulah Hasan Sanjuri memanjangkan jari-jarinya ke atas. Ke langit yang ia tunjuk.

Selamat membaca.

Jakarta, 20 November 2009

Ali Ibnu Anwar, Penyair

Jumat, 14 Mei 2010 di 07.56 , 0 Comments

DARI REKAN SPIRITUAL


SUNGAI KECIL DARI BUMI GORA

Habibi Beka

Menulis adalah mencipta abstraksi realitas. Abstraksi dilahirkan dari banyak informasi yang lekat dalam memori. Memindahkan kenyataan dari satu kumpulan data dalam memori kita, terkadang data harus melewati beberapa proses seperti merangkai satu informasi dengan informasi lain, mengklassifikasikan, mengganti satu bagian kecil dengan yang lain dalam rangkaian yang besar, menggandengkan satu atau beberapa rangkaian besar informasi untuk satu penggal kecil informasi, dan masih banyak lagi. Semakin kompleks proses yang dialami oleh informasi-informasi sebelum menghasilkan sebuah abstraksi, maka semakin berwarna dan kreatif abstraksi tersebut. Oleh karenanya, pengetahuan, pengalaman, dan keterampilan, sebenarnya bukan murni kenyataan yang dialami, tetapi lebih merupakan hasil konstruksi proses-proses tersebut di atas. Seorang ahli psikologi perkembangan terkenal, Jean Piaget, menyebut sifat tersebut dengan istilah konstruktivistik. Menurutnya, Kitalah yang mengkonstruksi bagaimana keberadaan diri kita sendiri.

Menulis puisi, adalah suatu proses abstraksi yang termasuk paling kompleks. Kompleksitasnya terletak tidak hanya pada kerumitan proses informasi yang dilalui, akan tetapi juga pada potensi manusia yang menggerakkannya. Jika Piaget menyebutkan peristiwa konstruktif pengetahuan hanya terjadi pada pikiran, maka menulis puisi lebih dalam dari itu juga menggunakan mesin (potensi manusia) yang lain yaitu rasa, dan hati. Dengan proporsi yang berbeda pada tiap penulis, ketiga potensi dasar manusia tersebut mencipta puisi, yang tidak hanya dapat mengabstraksi realitas apa adanya, tetapi juga menambah, mengurangi, menjungkirbalikkan realitas yang tampak, sehingga terperas sari pati makna kehidupan yang sangat berbeda.

"Hasil sastra bukan hasil eksemplar dari suatu jumlah, tetapi hasil keseorangan yang betul-betul utuh." Kalimat tersebut merupakan ungkapan almarhum Rendra saat ia masih muda, untuk menjelaskan bagaimana sifat puisi yang benar-benar mempribadi. Puisi merupakan hasil karya individual yang selamanya, semenjak ia dilahirkan, akan menjadi individu yang mandiri dan bebas untuk dinikmati oleh semua manusia secara individual.

* * *
Dalam kesederhanaan terdapat suatu makna dan emosi yang mendalam, mungkin ungkapan tersebut cukup tepat untuk melukiskan bagaimana perasaan saya ketika membaca puisi-puisi Sanjuri dalam antologi puisi ini. Simplisitas kehidupan anak-anak yang sering kali menimbulkan kerinduan manusia pada masa lalunya. Kerinduan pada manisnya senyum ibu, pada kesalahan-kenakalan yang belum terhitung dosa, dan berbagai rasa yang menjadi buah dari kepengayoman orang tua kita. Nurcholis Madjid, almarhum, pernah mengungkapkan bahwa kerinduan itu adalah fitrah kita sebagai manusia, dan dengan kerinduan pada yang setiap asal kita itulah nantinya kita kembali padaNya. Dengan demikian, bukankah puisi juga bernilai spiritual?

Lihatlah puisi sepotong senja di puncak rinjani, dan akan kita rasakan bagaimana belati kerinduan itu mengiris kenangan masa lalu pada Rinjani-Rinjani lain yang menjadi pondasi bangunan memori kedewasaan anda saat ini. Seperti kata Rendra, puisi adalah hasil individual yang utuh, eksis pada penulis dan juga para pembacanya secara individual. Mari kita simak:

sepotong senja di puncak rinjani
adalah nyanyian syahdu kupu-kupu
yang menyapu reranting di masa muda
juga seperti rintik hujan menyendiri di jalanan
ketika itu, aku berbenah diri sambil menulis puisi untukmu
dengan sisa airmata yang menetes di dadaku

sementara,
keringatku berwarna tembaga tumpah di tubuhmu
mengairi sawah-sawah, dan ladang-ladang tebu
mari berbaring sejenak
sambil menyaksikan jejak-jejak ikan
yang pernah menangisi hidup kita

(sepotong senja di puncak rinjani)

Sepotong senja di puncak rinjani memberikan nuansa dengan emosi yang padat. Emosi tersebut tersusun dari kenangan demi kenangan yang tertulis sederhana namun tidak menghalangi keindahannya.

Menikmati kesederhanaan sebenarnya memiliki arti bahwa kita sedang melawan arus kehidupan yang semakin lama menunjukkan keruwetan benang-benang fenomenanya, baik secara universal maupun secara personal. Mendalami kesederhanaan juga berarti bersenandung dengan melodi alam, menjadi bagian dari segala sesuatu yang mendukung eksistensi kita secara jujur. Sebagian besar manusia telah semakin lupa, terasing, dan tidak jujur pada diri mereka sendiri, demikian keluh kaum eksistensialis. Kesederhanaan itu bisa dilihat dalam penggalan sajak berikut:

di sekitar gunung itu, mekarlah kesunyian
dalam hati anak-anak yang mandi telanjang
sedang di sini, kita bisa berbaring
sambil mencatat sisa embun yang gugur di kolam kenangan

bersama para petani yang membajak sawahnya
kami menunggu aliran sungaimu yang kan bermuara di dadaku

(sepotong senja di puncak rinjani)

Iqbal berkata janganlah sekali-kali tenggelam dalam dunia, tapi tenggelamkan dunia dalam dirimu. Saya kira kesederhanaan yang menenangkan adalah lautan yang sanggup menenggelamkan apapun ke dalamnya.

* * *
Seperti senyum Yusuf yang mampu menelan seluruh sanubari Zulaikha, puisi sering kali sanggup menawan seluruh penghuni hati kita dalam jeruji keindahannya. Daya pikat ini disebabkan kekuatan puisi ada pada rasa dan intuisi. Pikiran hanya menjadi panggung yang mati, dimana kelincahan dan keanggunan rasa dan intuisi akan memainkan tarian di sepanjang episode pembacaan kita. Puisi yang menjadikan pikiran sebagai aktor utama ibaratnya hanya menyajikan panggung kosong kepada para pembacanya. Hambar!

Puisi peta rindu mungkin dapat menjadi contoh ringan bagaimana Sanjuri menjadikan rasa dan hati sebagai pemain utama dalam puisi-puisinya. Kita baca sepenggal syairnya untuk lebih menjelaskan bagaimana hal itu terjadi.

aliran sungai kecil di belakang rumahmu
menuntunku menuju bayanganmu yang mengabur
dalam pusaran waktu

aku tertunduk sejenak
nafasku seakan tertahan di bebatuan
kembali kupercepat langkah
melewati masa lalu
melewati jalan-jalan kecil penuh debu
dan kesunyian terus berhembus dari nafasku

(peta rindu)

Apalah arti sungai kecil dan bayangan seseorang bagi kita secara rasional? Tidak ada selain fakta masa lalu yang bertimbun di gudang ingatan. `Sungai adalah kata dimana kita melekatkan suatu gambaran mengalirnya air di dalamnya. mungkin beberapa batu kali berwarna kehitaman menghiasi bening aliran itu, atau sama sekali tak terlihat apapun kecuali gemuruh cairan kecoklatan yang menghanyutkan segala macam debu, pasir, lumpur dan sampah-sampah. Sama halnya dengan itu, bebatuan dan jalan-jalan kecil memiliki makna berdimensi fisik yang jelas dan dapat dipahami oleh semua orang.

Berbeda dengan karakter kata yang definitif, Sanjuri membawa sungai, bebatuan, dan jalan-jalan kecil penuh debunya ke arah yang lebih menyentuh kenangan, bukan hanya kenangan pribadi penulis, tapi bagi saya kenangan setiap pribadi yang membacanya. Sungai, bebatuan, dan jalan-jalan kecil penuh debu merupakan obyek yang hampir tidak seorangpun tidak mengetahuinya secara langsung. Bersama setiap obyek tersebut, peristiwa yang secara sederhana dapat kita sebut dengan kerinduan pada 'sesuatu' yang telah lama hilang, seolah hadir dan menciptakan kesunyian dalam nafas-nafas kita.

Ada emosi yang kuat, namun tetap lembut, mengalir dalam puisi-puisinya. Hal itu yang membuat saya selalu merasa senang untuk 'berbicara' dengan puisi-puisi Sanjuri. Puisi peta rindu di atas menjadi contoh bagaimana keluh rindu yang mendalam dihasilkan oleh obyek-obyek sederhana yang mungkin tiap hari kita temui dalam hidup. Bukankah materi hidup juga tidak pernah berubah? Ya, hanya rasa dan intuisi kitalah yang memberinya makna-makna baru setiap saat. Dunia adalah sebagaimana kita memandangnya.

* * *

Berkenalan dengan puisi-puisi Sanjuri akan mengajak kita untuk ikut juga berkenalan dengan rinjani, dokar, plecing (makanan khas lombok), berugak (balai-balai bambu), dan juga mamik (ayah), inak (ibu), saik (bibi), mbok (mbak), bli (abang), datuk bini (nenek), datuk laki (kakek), serta arik (adik). Kita juga akan diajak serta dalam pesta bau nyale, yaitu pesta menangkap nyale (sejenis cacing laut berwarna hijau keemas-emasan) dan diyakini oleh warga Lombok sebagai jelmaan dari putri mandralike yang menceburkan dirinya ke laut saat diperebutkan oleh beberapa pemuda.

Saya serasa melakukan petualangan di suatu negeri, negeri yang asing namun di saat yang bersamaan juga begitu dekat layaknya tanah kelahiran saya sendiri.

Kita lahir dari rahim pertiwi. Ibu kita bukan hanya perempuan yang mengandung dan melahirkan kita, melainkan juga tanah dimana seluruh energi hidup kita berasal. Tanah yang menumbuhkan benih-benih generasi. Tanah yang menjadi saksi bagaimana kita pertama kali merangkak, berjalan, berlari, berbicara dan merasakan cinta. Tanah itu pula yang akan selalu siap, setidaknya dalam kenangan, menerima kita apa adanya saat pulang.

Ibu pertiwi memiliki bagian dalam edaran darah dan denyut jantung kita. Karenanya, nafas dan pikiran kita juga menghembuskan aroma kedaerahannya. Bagi saya, seorang manusia yang baik adalah mereka yang jiwanya tidak pernah lepas dari panggilan ibu-ibu yang melahirkannya itu. Tidak seperti Malin Kundang, seorang anak tidak akan pernah pensiun dari jabatannya sebagai anak. Pada rahim yang telah menitipkan sebagian angan-angannya itulah seorang anak lahir, tumbuh, berkembang, dan mengarahkan hidup.

Setiap dari kita adalah seorang anak. Karenanya, tidak heran jika ada rasa yang begitu familiar ketika kita diajak untuk berkenalan dengan budaya tanah kelahiran orang lain. Selama budaya itu ditempatkan dalam posisinya sebagai ibu, maka ia akan memberi keakraban yang hangat layaknya keluarga. Bersama puisi-puisinya, Sanjuri akan mengantar kita pada kecintaan akan tanah kelahiran yang tak kunjung padam.

jilan meniup seruling di berugak. oki menghibur adiknya yang menangis. dingin kabut terus menyerang. orang-orang membakar jagung. anak-anak kecil belajar tarian batu nganga di depan api. aku juga ikut menari. mamik mempersiapkan penggalian sumur. inak menghidangkan kue serabi.

(kemana perginya hari-harimu)

Untuk sejenak, saya merasa bahwa Lombok adalah tanah kelahiran saya.

Dalam puisi Presean, nuansa kultural diciptakan dengan kuat. Presean adalah nama untuk suatu jenis kesenian Lombok yang berupa pertandingan adu pukul antar dua pepadu (jagoan) dengan penyalin (rotan) para pepadu juga dibekali ende (tameng) yang terbuat dari kulit hewan untuk menangkis sabetan rotan lawan, bertujuan untuk memohon hujan saat kemarau panjang, presean sendiri berasal dari kata perisi yang berarti proses pengebalan diri dengan menggunakan mantra dan bebadong (jimat). Dalam tradisi ini biasanya dipakai sapuk (ikat kepala).

aku tidak menyangka bahwa kau akan hadir lagi di sini, dengan sebilah penyalin dan ende dari kulit kijang seakan berbisik pada bumi bahwa kau adalah pepadu sepanjang zaman
……………
adakah kau menyesal tentang tanah warisan yang hilang? tentang sakit yang berkepanjangan? wajah kita terlalu muda tuk merasakan luka. walau pada akhirnya kita harus menyerah pada cahaya dunia pertama.

(presean)

Nuansa kultural yang terwakili dari upacara presean dalam puisi di atas memberikan sebuah emosi yang dalam. Emosi kedekatan antara anak dan ibu pertiwinya. Namun juga emosi memilukan, yang terpancar karena rasa takut dan sesal pada ketidakberdayaan yang menyebabkan semua kekayaan jiwa di tanah pertiwi hilang. Untuk sejenak saya merasa sayalah yang melakukan presean itu. Dengan sapuk di kepala saya.

* * *
Sebagai hanya seorang penikmat puisi mungkin pendapat saya mengenai struktur puisi tidaklah akurat. Penilaian yang saya berikan tidak lebih dari pengamatan dangkal akan keindahan yang sedapat mungkin saya tangkap dari struktur puisi-puisi yang disajikan oleh Sanjuri ini. Namun saya rasa tidak ada salah jika saya ungkapkan salah satunya di sini.

Saat pertama kali berkenalan dengan puisi-puisi Sanjuri dalam kumpulan ini, saya dihadapkan pada suatu struktur yang rapi, mencirikan sebuah struktur puisi yang memang telah saya kenal sejak lama. Keindahannya muncul secara teratur, lembut dan mendalam. Struktur yang saya maksudkan adalah seperti pada puisi izinkan aku berikut.


izinkan aku mencintaimu sebentar saja
seperti awan yang menggantung di pucuk-pucuk cemara
sedangkan hujan tak turun-turun juga

izinkan aku mencintaimu sebentar saja
seperti kilat yang hinggap di tubuh malam
sedangkan senja tak pernah terekam

izinkan aku mencintaimu sebentar saja
seperti senyummu yang pudar dalam kenangan

(izinkan aku)

Namun seolah terjadi hujan deras secara tiba-tiba, menggantikan cerahnya siang, struktur puisi di atas mengalami evolusi yang begitu cepat. Saya seperti diharuskan untuk merubah mindframe dalam diri saya untuk membaca perubahan tersebut. Struktur lama yang tertata dan lembut tiba-tiba berubah menjadi sebuah struktur yang memungkinkan Sanjuri untuk bebas berteriak. Struktur yang saya maksudkan seperti yang terdapat pada puisi babad-babad cinta berikut ini.

kota praya sesak penuh debu, deru kendaraan terbang ke udara. daun-daun gugur seakan-akan mengajak kita bunuh diri tanpa cinta dan seikat melati, tapi kota ini menjadi indah bagiku setelah aku mengenalmu beberapa bulan yang lalu. dengan bangga aku bercerita tentang indahnya puncak rinjani, teduhnya bendungan batujai, tentang jumlah saudara-saudara kita yang belum kau ketahui. tentang pesta pernikahan secara adat nenek moyang. lalu kita bercanda dalam telepon “kapan kita kabur meninggalkan rumah seperti mereka? sambil membaca babad-babad cinta seorang bangsawan” tapi kita tak pernah bertanya, berapa huruf yang terbuang hari ini? tanpa merasa berdosa tidak menyimpannya dalam puisi.

(babad-babad cinta).

Saya merasa seperti tanah kering gembur yang mendapat hunjaman butir-butir hujan deras yang bertubi-tubi. Atau seperti sedang tidur untuk kemudian terjaga kaget gara-gara suara beker yang memekakkan telinga. Puisi dengan struktur baru ini memiliki daya menerobos yang begitu kuat. Dalam pandangan saya, ia menjadi begitu spontan, tanpa basa-basi.

Suatu perubahan menuntut keberanian yang kreatif, dan itu telah dilakukan oleh Sanjuri melalui puisinya. Saya senang karena memiliki kesempatan menjadi saksi bagi perubahan itu. Dan berharap, perubahan itu juga memicu revolusi dalam diri saya sendiri.

Madura, 1 Desember 2009

Habibi Beka
Pengajar Filsafat Pendidikan dan juga penikmat sastra

di 07.21 , 0 Comments



Judul Buku: BUMI GORA, kumpulan puisi
Penulis: M. Hasan Sanjuri
Penerbit: Sanggar Sastra Al-Amien (SSA)
Tahun Terbit: Desember 2009
Tebal: vi+52 Halaman
ISBN: 978-602-96468-0-1


BUMI GORA

aku kembali ke kampung halaman, setelah bertahun-tahun merantau mencari garis nasib. membaca takdir. mengemas barang-barang menjadi harapan. aku tak tahu apakah ibu juga merindukanku? atau masih menenun sarung yang aku pesan tahun lalu? jalan-jalan di kampung halaman terbayang, dengan tikungan-tikungan yang bertabrakan. sawah-sawah mulai menyala. ada sungai di sampingnya. kering kemarau telah mengubahnya menjadi mimpi yang terluka. batu-batu cadas menyerupai naga yang pernah dikendarai para datu untuk bertempur, menyerang musuh-musuh demi kemenangan sebuah kerajaan. rinduku pada kampung halaman telah menyeretku memasuki ruang gelap di tempurung kepalaku. mencari-cari mutiara asin-mutiara tawar. jari-jariku memanjang. menyerupai tahun-tahun kenangan. mempertebal mimpi-mimpi lama menjadi harapan.

di halaman. sebuah bandara yang masih menjadi sengketa mengalirkan sungai darah yang amis dan jorok. tapi masih tersisa wangi dari kuncup melati dan rekahan mawar. sisa percintaan tamu asing yang datang kemalaman. kemarau masih akrab di telingaku. kepercayaan lenyap begitu saja. daun padi yang menguning berubah tembaga. matahari yang terbit di ubun-ubunku membakar seluruh rumput di lapangan golf. memanaskan jalan-jalan raya. lalu bangkit bayi-bayi mungil dari rahim ibunya. menagih tanah warisan dari moyangnya.

ada yang lebih aku banggakan padamu selain cintamu yang pagi, atau senyummu yang mawar, atau lukamu yang sejati, atau langkahmu yang membelah malam, atau diammu yang menawan, atau tarianmu yang basah, atau keluhanmu yang manja, atau tatapanmu yang gemuruh, atau sentuhan-sentuhanmu yang jenaka, adalah keberanianmu mengajak semua orang untuk berduka. menangisi sisa-sisa kolonial yang masih lekat dalam tubuhmu. menjadi mitos dan khayalan.

bumi gora. bumi gora. namamu kulukis dalam bingkai kaca. daun-daun basah oleh kesedihanmu. lalu dengan perlahan menjelma ombak di halaman. perahu-perahu semakin oleng oleh bau tubuhmu. lobster-lobster menjadi menu di restoran. sedangkan kita lebih memilih menjadi penonton ketimbang belajar membaca gerak angina dari sisa air mata. kebaya dan songket terbentang di jemuran. menggantikan kehadiran pelangi yang melingkar di atas pohon sangkaguri. kebaya dan songket telah basah. kebaya dan songket telah menangis.

2006

bumi gora : Nama lain dari Nusa Tenggara Barat, dan merupakan lahan tempat suksesnya penerapan teknologi pertanian dengan sistem Gogo Rancah (padi gogo) yaitu penanaman padi di lahan kering.
datu : raja



M. Hasan Sanjuri
SENANDUNG RINDU BANJAR GETAS

melalui keperihan di lambungku, aku mencoba menyusun bahasa. menari bersama asap dupa. seakan-akan ruh para leluhur datang menjengukku. menanyakan tentang keris pusaka dan tentang kematian yang disesalkannya. ada cahaya bintang menyelinap di atas atap. menggerak-gerakkan sisa malam yang sempit. aku tidak mengerti. inikah yang disebut dengan penyesalan? kelewang, keris dan juga bambu runcing tetap tergantung di dinding yang renta. tiba-tiba kitab hasil pertapaan berhamburan. membentuk peta kegelisahan yang selama ini terpendam dalam kalbu.

di jalan-jalan raya. suara delman memecah sunyi. roda-roda berpaling dari luka. berputar. seakan telah menemukan isyarat kebahagiaan di pinggir-pinggir jalan. lalu kita menimbun kata-kata dari sisa pertempuran yang sia-sia. ribuan anak balita duduk bersila di sudut goa. membaca garis perlawanan yang kita titiskan dalam dendam. namun adakah di sana tuhan membaca pikirannya? sehingga kematian tidak perlu lagi disesalkan.

aku menyaksikan orang-orang bernyanyi di televisi dengan lagu yang tak pernah diajarkan oleh nenek moyangnya. sebuah lagu yang tak mampu membangkitkan asmaraku untuk bercinta. aku merindukan tubuhku lahir pada abad pertama dari putaran dunia. berjumpa dengan adam yang masih meragukan dirinya manusia. seorang pemuda menelepon kekasihnya di pagi buta. adakah hawa menyisir rambutnya di sana? atau sedang bernyanyi untuk meredamkan perih setelah pembunuhan putranya? tiba-tiba aroma firdaus yang kudus menampar sudut hatiku.

purnama telah membagi cahayanya. gerhana tersimpan di hatiku. lalu kembali kusucikan tubuhku dengan baris-baris doa.

bagaimana mungkin aku bisa menghentikan tetes airmata di pekarangan rumah sementara mimpi dari malam ke malam selalu berkemas diri untuk pergi dan meninggalkan luka baru di pelupukku. hembusan angin begitu dingin memporak-porandakan istana yang kubangun di dadaku.

tahun ini seakan-akan menunggu matahari pecah di ubun-ubunku. debu tetap menempel di lipatan baju. tiba-tiba di selokan belakang rumah terdengar senandung lagu daerah mengalir dengan deras, mencari muara di hatiku. "di mana kemerdekaan itu ?" teriak seorang lelaki dengan busur di tangannya. tanah perbatasan-tanah perbatasan berapa purnama yang dibutuhkan untuk mengenalmu? dalam buku harian kutulis namamu yang selalu terancam bencana.

hari pertengahan musim hujan telah tiba "anakku anakku negeri baru menunggumu"

2007

banjar getas (bg) : Arya Banjar Getas (ABG): Bernama asli Arya Sudarsana muncul sebagai pimpinan laskar (1675-1678 M) sampai menjadi patih kelima kerajaan Selaparang antara (1715-1716 M). ABG akhirnya menjadi nama sebuah kerajaan yang semula bernama kerajaan Memelaq (1722-1742 M) sekarang: di kelurahan Gerunung Praya, lalu berpindah ke Gawah Brörâ (berganti nama menjadi Praya). -

Namun sebutan ABG akhirnya menjadi nama gelar dinasti raja-raja yang memerintah di kerajaan itu (mulai Arya Sudarsana sebagai ABG I tahun 1722-1740 dan meninggal tahun 1742, berlanjut sampai Raden Wiracandra sebagai ABG VII).

(Sumber: Lalu Muhammad Azhar, 2004: Arya Banjar Getas; Bedah Takepan, Babad dan Buku Sasak. Mataram: Yayasan Pendidikan Pariwisata Pejanggiq.)


dalam versi lain sajak ini berjudul senandung rindu raden budiring dan meraih juara 2 lomba menulis puisi yang diadakan oleh Dewan Pengurus Perhimpunan Indonesia Tionghoa dalam rangka memperingati hari kabangkitan nasional 2007

Minggu, 31 Januari 2010 di 04.57 , 5 Comments

HORISON Oktober 2007



M. Hasan Sanjuri
PESTA BAU NYALE

awan menjelma jamur di langit senja, obor-obor sudah mulai menyala. sebentar lagi film layar tancap akan diputar. sepasang terune dan dedare melayarkan perahu dari kulit semangka. tawanya sangat riang seperti kebahagian seorang putra mahkota mempersunting permaisuri yang datang dari istana yang jauh. seribu laba-laba membuat sarang di pohon akasia.

dingin membatu di kulitku "di mana wayang kulit, di mana gendang belek?" malam semakin tebal di hatiku. kucoba menyimpan dongeng nenek moyang pada batu-batu, pada bening air laut, dan pada reranting yang patah di ujung sunyi.

putri mandalike! terasa tangismu masih terdengar antara batu-batu karang dan dan debur ombak yang hampir hilang. seorang nelayan tua di pantaimu berkisah pada puteranya tentang wajahmu yang belum pudar dalam mimpinya, tapi ia bukanlah aku bukan pula datu pejanggik yang selalu ditunggu.

matahari pucat pasi di laut selatan, dan pesta yang di nanti telah datang. lentera-lentera kecil menyala, asapnya membumbung menembus batas cakrawala. seribu pemuda bernyanyi, suaranya mendaki gunung sambil membawa berita tentang peperangan bersama perempuan yang datang dari balik malam. “ke mana kulempar kenangan ini?” dan mantra yang hinggap di rambutnya diterbangkan kemarau ke samudera. di atasnya perahu-perahu mengantar jeritan bayi pada tangis ibunya, perempuan itu tetap saja membatu dengan sujud beku di dadanya. “perempuan… itukah dirimu putri mandalike? saksikanlah rembulan tumbuh dari batang padi anak-anakmu, anak-anak yang menginginkan tubuhmu lahir kembali dari sisa nyale yang dijaring oleh terune dan dedare di lautan kesedihan” segerombolan kunang-kunang mendinding malam. pergantian siang dan malam terlalu kental dalam luka, tamu-tamu asing mendirikan tenda di pantaimu. sebagian lagi sedang bercinta dalam selimut sutera merah tembaga. barisan pedagang jagung bakar tersenyum menawarkan harga, mereka tidak paham kemerdekaan. mereka tidak mengerti cita-cita.

2006-2007

pesta bau nyale : pesta menangkap nyale (sejenis cacing laut berwarna hijau keemas- emasan) dan diyakini oleh warga lombok sebagai jelmaan dari putri mandalike yang menceburkan dirinya ke laut saat diperebutkan oleh beberapa pemuda.
terune dan dedare : pemuda dan pemudi
gendang belek : musik tabuh adat sasak
datu pejanggik : raja yang pernah berkuasa di wilayah lombok tengah

Sabtu, 10 Oktober 2009 di 07.39 , 1 Comment

HORISON Januari 2008

M. Hasan Sanjuri
MEMBACA MASA SILAM


aku belum bisa tidur, matahari yang menyinariku dari tahun ke tahun selalu berubah warna. pintu-pintu rumah tertutup. air sungai dipenuh bangkai, seorang ibu mencuri kain putih untuk mengkafani anaknya. gaun hitam yang dipakainya terbuat dari penyesalan. aku takut menanyakan suaminya yang tak kunjung pulang. akankah ia masih janda? atau serdadu yang berusaha membela negaranya? di negeri ini, masihkah perempuan diciptakan dari tulang rusuk laki-laki?

pertanyaan jadi buntu. tawar-menawar harga barang di pasar jadi buntu. deru kendaraan di terminal jadi buntu. ceramah-ceramah agama jadi buntu. waktu itu pesta kemerdekaan disiarkan di radio. tahun-tahun berlalu membawa kemiskinan. sebuah kota tua bercerita tentang perjuangan melalui gedung-gedung yang hampir roboh.

bendera-bendera berkibar di setiap ujung jembatan, seperti malaikat melambaikan tangannya di bawah patung pahlawan. anak-anak sd berjemur di lapangan bundar. keringatnya meleleh, seperti kesedihan sepuluh tahun yang lalu.

sejak itu, aku teringat pada hari-hari penuh seragam sekolah. ada makhluk asing mengirim telegram kepadaku, tentang nyawa, tentang nasib yang tergadaikan.

2007

di 07.37 , 0 Comments